April 30, 2016

Sajak Kereta

Kapas-kapas awan mulai menjingga
Sawah-sawah bekas panen terlukis dibalik lebar jendela
Pohon-pohon jadi fatamorgana
Kereta bergoyang-goyang
Penumpang memandang kosong keluar jendela
Ada pula yang tertidur
Ada pula yang mendapat kawan baru
Kamu memakai earphone
Aku juga
Kereta bergoyang-goyang
Bahu kita bersentuhan tanpa saling menoleh
Kamu memakai earphone
Aku juga
Kamu dan aku mendengar melodi yang berbeda
Kamu dan aku duduk bersisian, tanpa tahu kota tujuan masing-masing
Kamu dan aku duduk bersisian, namun sama-sama mengedar pandangan keluar lebar jendela
Mengedar pandangan pada fatamorgana.

_KA KRAKATAU, 27-3-16

Oktober 26, 2015

Tentang Diam Ini (2)

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu-minggu itu berganti bulan, dan bulan-bulannya berganti tahun.
Ah, tak terasa sudah dua tahun lamanya semenjak aku dipertemukan denganmu, oleh Yang Katanya Cinta atas takdirNya. Tinggiku kini bertambah jadi 140 senti. Rambutku telah panjang sebahu. Aku sudah tidak ingusan lagi (kecuali kalau memang flu).
Teman-teman kelas sudah mulai wara-wiri, ribut mau masuk sekolah menengah mana. Sementara aku disuruh ibu "pilih yang dekat rumah saja". Tidak sampai berpikir "Ini sekolah favorit loh!" atau "Aku mau masuk sini biar tawuran terus" atau "Alhamdulillah, aku mondok".
Mayoritas teman sekelas, memilih SMP yang sama. Sekolah dengan titel "Sekolah Favorit". Sedikit iri, aku cuma senyam-senyum.
Sampai rumah, aku merengek pada ibu. Biar masuk sekolah favorit juga seperti yang lain. Ibu bilang katanya takut tidak masuk, nanti keluar uang banyak. Aku yakinkan ibu kalau aku bisa masuk Sekolah Favorit. Tanpa embel-embel uang sewa bangku atau apapun itu. Ibu hanya pasrah. Anaknya terlalu keras kepala.

Aku masuk ke sekolah favorit.

Dan aku bertemu dengan yang katanya cinta katakan.
Kelas delapan satu. Nomor absen tiga puluh empat.

Ikut kegiatan ekstrakurikuler ilmiah.
Seringkali terlihat bermain futsal.

Seringkali ikut olimpiade kesenian. 

Yang sama sekali tidak mengenalku.

Yang katanya cinta,
Aku menyerah. Cukuplah sampai disini.


-Jogja, lupa tanggal tapi baru sempat dipos, insomnia kambuh-

Oktober 18, 2015

Tentang Diam Ini (1)

Di suatu subuh yang tak begitu dingin, yang katanya cinta, berbisik padaku menyuruh diam. Sebab katanya cinta aku masih terlalu dini untuk memahami.
Tergerak, aku diam.
Ia melanjutkan, bisikannya makin pelan. Yang katanya cinta bilang "Pukul enam nanti kalian kan bertemu."
Kujawab dengan berapa kali bersin lengkap dengan bingkisan hijaunya.
Halo! Siapapun kamu, yang katanya cinta, aku cuma anak ingusan.

Setengah enam lebih sedikit banyak ngaretnya, kakak kelasku datang kerumah.
Yang katanya cinta berkata "Semua akan dimulai dari sini jadi bersiaplah."
Kujawab dengan suara cegukan yang datang tiba-tiba.
Halo! Siapapun kamu, yang katanya cinta, aku cuma anak yang mau tambah tinggi.

Kakak kelasku berjalan di depanku. Aku mengekor dengan menggaruk-garuk hidung gatalku. Sesekali bersenandung entah apa.
Yang katanya cinta, hadir lagi.
"Sebentar lagi tiba. Jangan tutup dua matamu dan nikmati." kata yang katanya cinta.
Sampailah kami di sebuah rumah. Dengan pagar kayu warna hijau sederhana yang tak lama setelah kami mengucap salam keras-keras,
terbuka.

Aku tidak menutup dua mataku.

Seorang laki-laki tinggi hitam, berbinar-binar melihatku.
Atau kakak kelasku, bisa jadi.

"Yuk masuk." katamu.
Hai, yang katanya cinta. Jadi ini cintaku? Atau bukan? Cinta itu apa, sih?
Kakak kelasku menggeleng. "Aku cuma mau tanya jadwal besok hari."
Kamu menggumam lalu melesat kedalam. Dan keluar, Dengan membawa sebuah buku bersampul warna-warni.
"Makasih, kami pulang" kata kakak kelasku.
Kamu mengangguk. Tersenyum. Kurasa embun yang tak sengaja kusentuh diatas dedaunan tak pernah sesejuk ini.
Kamu menutup pagar kayu itu. Pelan, namun masih melongok, memperhatikan kami dari balik celah-celah kecil.

Yang katanya, cinta.

"Kamu tau? Dia tuh orang yang aku suka."
Suka apa, suka? Mengapa aku sedih?
"Aku pinjam catatan ini biar kamu lihat dia. Ganteng kan?"
Suka apa suka?

Halo yang katanya cinta! Aku diam.
Memang harus diam dan takdirnya diam.
Diam diam diam diam. Dan,
mengagumi dalam diam.

-Jogja, 18-10-2015, kepala pusing, setengah tidur, di kamar indekost-

Oktober 09, 2015

Kepada Sebuah Nama

Kepada sebuah nama
yang namanya selalu dirapal dalam setiap do'a
yang namanya selalu disenandungkan dalam rinai hujan.

Kepada sebuah nama
yang sosoknya berada di negeri antah-berantah
yang rupanya seperti apa; aku tak tahu.

Dan kepada sebuah nama.

Aku bersyukur telah mencintaimu
untuk semakin mencintaiNya

Oktober 05, 2015

Nol.

Ada banyak hal yang mungkin tak dapat kau ungkapkan dengan kata-kata
Hanya diam yang bicara
Atau segurat senyum tipis di wajah yang penuh kemunafikan.

Ada saatnya ketika kalimat-kalimat indah yang kau rangkai jadi tak berguna.
Semua hanyut; hilang. Terbawa tenangnya arus sungai dengan pantulan jingga cahaya matahari.

Ada kalanya potretmu dengan pigura warna-warni menjadi abu-abu di matanya.
Ia kira hanya ilusi optik, atau rabun jauhnya yang bertambah.

Ada waktunya ketika cat minyak warna-warni yang kau gores di atas kanvas, menjadi tak beraturan; abstrak.
Yang satu goresannya mencerminkan luka hati.

Ada masanya ketika angka-angka yang menari bahagia―kau anggap begitu― di matamu, berbalik mengejekmu; menghinamu, karena kau tak memahami mereka lagi.

Ada ketika suara permainan gitarmu begitu aneh. Padahal senarnya sudah kau setting berkali-kali.

Dan ada kalanya bola basketmu, tak mau kau taklukkan seperti biasanya. Lapangan bukan jadi milikmu lagi.

Ah,
untuk kali ini kubiarkan saja.
Jangan pernah kalian lupa,
menunggu adalah bagian dari usaha.
Salam,
untuk dan dari Nol, si figuran.